"Leuweung" dalam pemahaman masyarakat Sunda bermakna luas, yaitu kawasan, termasuk di dalamnya kawasan atau lingkungan manusia. Jika dilihat dari arti hutan dari beberapa sumber, maka kata yang sesuai dalam istilah Sunda-nya adalah "alas" atau "wana" (kata "alas" lebih umum daripada kata "wana").
Salah satu ketetapan "leuweung" yang berfungsi permanen tidak dapat dirubah dari keadaan asalnya karena sejak awal (wiwitan/alaminya) memiliki nilai yang mendasar adalah "leuweung larangan". Adapun "leuweung larangan" yang ditetapkan kemudian karena alasan tertentu, seperti terkait dengan adanya jejak atau peninggalan leluhur, sementara kawasan asalnya adalah leuweung tutupan (pemanfaatan terbatas).
Salah satu areal yang berfungsi "leuweung larangan" permanen adalah puncak2 gunung, karena di sana Sang Pencipta "Nu Maha Keresa Nu Maha Kawasa" menciptakan sebuah kawasan yang dikenal dalam bahasa "ekologi" tradisional dengan sebutan "gentong bumi". Tidak hanya berfungsi sebagai "gentong cai" atau wadah air (tangkapan air), tetapi wadah bumi, yaitu wadah kesatuan unsur hidup makhluk (bumi = pertiwi = bangsa = negeri).
Bersumber dari "gentong bumi" atau "gentong pertiwi" inilah terbentuk kesatuan fungsi "leuweung larangan" secara utuh dan permanen dalam batasan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau dalam istilah Sunda disebut "Pangauban" (aub = ada/berada, awalan "pa" dan akhiran "an" menunjukkan tempat, pangauban = tempat berada).
"Leuweung larangan" yang bersumber dari "gentong bumi" ini ada dan menetap sebagai kawasan larangan sejak alam ini diciptakan yang bertujuan tidak hanya untuk kepentingan manusia tetapi alam atau makhluk secara keseluruhan (hak alam/hak semesta). Dalam istilah Sunda lainnya disebut "tangtu" (tetap/permanen). Sampai kapan pun kawasan ini harus tetap utuh-lestari. Jika tidak, maka keberlangsungan kehidupan akan terganggu.
Atas penjelasan di atas, maka sangat jauh berbeda dengan pemahaman modern yang diadopsi oleh pemerintah saat ini tentang kawasan yang hampir mirip dengan "leuweung larangan", yaitu kawasan konservasi (kawasan pelestarian), baik Kawasan Pelestarian Alam (KPA) maupun Kawasan Suaka Alam (KSA). Dari dua kawasan tersebut, KSA memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi, salah satunya dengan adanya status kawasan Cagar Alam (CA).
Namun, berkaca kepada perubahan status CA Kamojang (2.391 Ha) dan CA Papandayan (1.991 Ha) menjadi Taman Wisata Alam (TWA) yang termasuk KPA (SK No 25/MENLHK/SETJEN/PLA.2/1/2018 tentang Perubahan Fungsi Pokok Kawasan Hutan) menunjukkan sekuat atau seketat apa pun produk suatu hukum ternyata masih bisa atau ada peluang untuk dirubah, dan tentu saja faktor kepentingan manusia di belakang semua ini. Dan, menjadi sebuah kewajaran dan bahkan keharusan, jika hak2 alam ini dinodai, pemerintah sebagai pembuat kebijakan (karena tidak selamanya "benar") harus diingatkan.
Semoga, semua potensi negeri ini sadar bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, leluhur bangsa/negeri ini sudah mewariskan sistem pengetahuan yang utuh terkait pengelolaan wilayah atau kawasan.
@M.edison, Jurnalis Citarum Harum.
Posting Komentar